Untuk Cynthia Halim Pada bangku deretan paling atas di sudut stadion. Kosong tiada siapapun, hanya kita yang berkunjung. Pada perte...

Cerita Di Stadion


Untuk Cynthia Halim

Pada bangku deretan paling atas di sudut stadion.
Kosong tiada siapapun, hanya kita yang berkunjung.
Pada pertemuan di awal sore saat adzan ashar.


Kita menunggu seorang anak hadir dengan layang-layang.
Mengulurkan benangnya menjadi kebahagian dilangit luas.
Agar setiap orang memilikinya; yang dibutuhkannya.
   

Waktu tidak mau diam, sedang si anak tidak mau datang.
Banyak sudah bahasan yang kita habiskan.
Sore memang selalu membuat lapar,


terlebih dengan harapan masa depan yang kita ceritakan.
Kurasa entah siapa pasti iri. Sedang yang lain harus mencobanya.
Sore yang kita habiskan, tentang awal perkenalan.



Si anak ternyata tetap tidak juga datang
Kini bangku  sekitar mulai ramai.
Sedang dilapangan hijau entah sejak kapan orang berkejaran.
Seisi stadion riuh, setiap si bundar dijaringkan.
Kita pun begitu, terikut suasana. Kita mendukung sisi kiri dan kanan.
Seperti seorang hakim, kita berlaku adil. Bukankah hidup seperti itu yang diharapkan?


Hujan turun dengan derasnya, meniup angin kencang.
Kau menggigil saat dingin menyentuh kulitmu.
Orang pun masih berkejaran,

kurasa harga diri sedang dipertaruhkan disana.
Sebaiknya kita tidak perlu terlibat lebih jauh, sebab kasihan dirimu.


Hujan tiada bisa dihentikan, kita menerobos basah.
Berlari hingga ujung jalan menuju cahaya putih sambil tertawa bahagia.
Begitulah seharusnya perpisahan dilepaskan menjadi akhir pertemuan.


(Richard Stevanus Sitio)


2 komentar:

  1. Iyah cyn, cuma ditambahin untuk siapanya aja tapi, kelupaan hari itu. Puisi puisi sebelumnya juga ada kok kalau memang puisinya ditujukan kepada seseorang

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.